Minum air jangan dikunyah, makan nasi jangan diminum.
Sebuah ungkapan yang mengandung makna dan interpretasi berbeda-beda. Kendati
dalam kamus, sudah ada makna dan artinya yang baku. Ada anggapan bahwa adanya
perbedaan tersebut menunjukan bahwa manusia dalam hidup dan kehidupan
disepanjang hayatnya tidak akan pernah menemukan kesepahaman. Selalu saja ada perbedaan.
Akibatnya, mengatur atau mengurusnya pun sangat sulit,
bahkan dianggap lebih mudah mengatur hewan piaraan. Adanya perbedaan dalam
pandangan manusia, juga dibuktikan dengan bahwa sejak awal-awal rencana
penciptaanya terjadi pertentangan dan perbedaan pendapat yang luar biasa antara
malaikat dengan Sang Yang Maha kreasi; Al-Khalik.
Tidak bisa disangkal bahwa manusia dilahirkan dengan
karakter yang melekat pada diri masing-masing. Tentu saja karakter tersebut
sangat jauh berbeda dengan karakter makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dua karakter itu yang selalu menyertai kemana pun
mereka pergi dan menjadi pondasi jika saja mereka tidak ingin dianggap sebagai
manusia yang berprilaku berbeda dengan manusia kebanyakan.
Persoalan moral dan mentalitas seperti itu menarik untuk
dikaji dan diperbincangkan. Bahkan ada sebagian asumsi menyatakan, persoalan
moral selain telah memasuki ruang-ruang publik juga sudah memasuki ruang-ruang privacy, meja-meja
dinas para birokrat dan non birokrat dimana pun mereka di muka bumi ini.
Harus diakui mencari batasan antara prilaku yang baik dan buruk memang gampang-gampang susah. Sebagai salah satunya, ia bisa
dijelaskan dengan pandangan umum yang berlaku di masyarakat. Karena, jika saja
mengacu pada aturan yang benar-benar sesuai dengan hukum,
norma dan aturan perundang-undangan Negara akan semakin tidak bisa seia-sekata.
Karena, produk aturan itu sendiri mestinya ditaati bukan dilanggar atau
dilawan. Sehingga akan terjadi normalisasi dari hal yang kecil sampai yang
besar.
Saking semakin tidak adanya batasan antara baik dan buruk
yang di dalamnya juga termasuk mental keserakahan dan kerakusan maka tidaklah berlebihan
penulis sedikit berburuk sangka, bahwa kita laksana hidup pada sebuah negeri
yang di dalamnya penuh anekdot. Ngalor ngidul tidak karuan penuh kamuflase
umbar janji sana sini, tidak jelas yang mana esensi dan yang rekaan.Semuannya
semakin tidak menentu.
Parahnya lagi kita lebih bingung memetakan yang mana
layak dan memenuhi standar rasionalitas kita sebagai manusia rasional yang
mengedepankan hati nurani. Mestinya pada kondisi kekinian kita, hal-hal yang
mengarah pada prilaku irasional tersebut tidak perlu membusungkan dada untuk
mencernanya dan mengernyitkan dahi untuk memahaminya. Karena bagaimana pun,
yang dapat mengganggu harkat dan martabat ummat mestinya dapat diperangi. Walau
pun pada dasarnya dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mewujudkannya.
Minum air jangan dikunyah, makan nasi jangan diminum
adalah sebuah suasana, ilustrasi dan instrumen yang memungkinkan kita menggauli
dan mendekati sesungguhnya yang terjadi di daerah ini agar pada ujungnya nanti
kita tidak terjebak secara berjamaah. Frekwensi membumikan tekhnik dan strategi
politik apa pun namanya tidak sebanding dengan ditelorkannya strategi atau
program yang bisa diterima masyarakat untuk kelanjutan hidup dan pencaharian
mereka.
Kita semua faham masyarakat butuh pencaharian yang berkelanjutan
dengan rumus pengelolaan yang sederhana, baik, transparan dan mudah dipahami
oleh mereka sendiri. Logika masyarakat adalah bagaimana mereka bisa beribadah
dengan khusuk, mencari makan yang cukup untuk bisa bertahan satu atau dua waktu
(baca: siang atau sore), tidak membutuhkan yang bombastis. Begitu bombastinya
hal-hal yang dianggap pemali tidak lagi bernilai pemali. Padahal hakekat pemali
adalah bagaimana kita bisa menahan diri agar tidak selamanya dikendalikan oleh
nafsu dan birahi yang meruntuhkan moral kita selaku manusia personal, kelompok
dan atau dependent Human Being.
Kesederhanaan dan keluguan cara berpikir masyarakat
tersebut, memungkinkan mereka untuk dengan serta merta menelan muntah-muntah
sesuatu yang kita anggap sebagai hal
yang bersifat coba-coba, tidak real atau bahkan sebagai kelinci percobaan. Dan
mereka sama sekali tidak tahu dan tidak memahami hal itu. Kita bernar-benar
mengajak mereka untuk tersesat bersama-sama yakni mengunyah ketika minum air
dan meminum ketika makan nasi.
‘’Negeri Anekdot negerinya para Pemimpi’’,ujar salah seorang anggota DPRD Kabupaten Bima, saat
berdiskusi dengan penulis dan teman-teman wartawan, di gedung Paruga Parenta,
beberapa waktu lalu. Tidak hanya berargumen seperti itu, Anggota Dewan, yang
dikenal dekat dengan para aktivis dan teman-teman media tersebut juga
mengomentari pemberitaan di harian lokal yang menurunkan berita; demo menolak
tambang mangan di Kecamatan Woha, perkelahian antar kampung (Desa Ngali, Renda
dan Monta), pembuatan taman kota yang dinilai merampas ruang publik dan
simsalabim APBD Kabupaten Rp 2,5 M untuk salah satu perguruan tinggi swasta dan
perselingkuhan pejabat.
Menurutnya, Indonesia hari ini, sudah diisi oleh
orang-orang yang senang bermimpi,
termasuk mahasiswa yang melakukan aksi tersebut. Mereka menginginkan
agar sesuatu yang mereka usung segera terealisasi tanpa memahami prosedur dan
mekanisme yang berlaku dalam internal birokrasi. Mereka memaksakan sesuatu yang
tidak seharusnya dipaksa-paksakan bahkan menuding telah terjadi krisis pada
level pelaksana system.
Demikian pula halnya mereka yang telah maupun yang akan
mengisi posisi pemimpin. Seharusnya, kata Anggota Dewan tadi, orang-orang itu
harus pintar-pintar dan lebih serius menatap kedalam diri mereka agar tidak
memaksakan untuk mengejar tahta. Kalau saja tetap dipaksakan maka akan
berakibat meruncingnya krisis legitimasi yang tentu saja akan sangat memalukan gerbong yang berjejer
dibelakangnya.
‘’Apa yang kita harapkan dari generasi yang senang
mengejar mimpi?,’’katanya.
‘’Bukankah ini bukti kegagalan pelaksana
system,’’nyeletuk salah seorang teman wartawan. ’’Berbicara kegagalan, semuanya
gagal. Mulai dari pemerintah yang membangun komunikasi sampai pada mahasiswa
yang tidak mampu memahami mekanisme birokrasi,’’ lajut mas Dewan itu.
Lalu sedemikian parahkah keadaan yang dialami oleh daerah
ini? Membangun harus diawali dengan nawaitu ingin mengubah. Mengubah misalnya
dari angka satu menuju angka dua dan seterusnya. Nah kalau saja yang diubah
tidak mengalami perubahan atau tidak bergerak apalagi berjalan ditempat bahkan
mundur bagaimana jadinya.
Membangun dalam arti luas adalah bagaimana sesuatu itu
bisa bermanfaat bagi sesama atau bahkan bukan sesama sekali pun (baca diluar
makhluk manusia). Artinya dalam konsep membangun semua
kekuatan harus mengambil bagian dan dilibatkan. Sehingga menjadi pembangunan partsipatif. Dan pembangunan
partisipatif tersebut harus didukung oleh kekuatan sumber daya manusia yang
berkualitas. Misalnya, ketika diberi tugas untuk membangun jalan dan jembatan maka ia tahu dan faham bagaimana
konstruksi dan mencampur agar menghasilkan jalan dan jembatan yang berkualitas.
Ketika diserahi tugas untuk membangun moral dan pendidikan maka ia tahu dan
faham bagaimana rumus, taktis dan strategi termasuk penempatan tenaga pendidik
yang capable sesuai kualifikasi akademik yang sehat agar bisa menghasilkan generasai yang bermoral dan
perpendidikan.
Gerakan membangun dan mengubah mental dan prilaku bukan
sesuatu yang mudah, itu pemahaman yang
umum berlaku. Namun tidak ada sulitnya kalau saja semuanya berusaha dan bangkit
bersama yang digerakkan oleh pemimpin. Fungsi manajerial mereka harus
benar-benar dimaksimalkan demi terwujudnya iklim tata kelola yang sehat menuju
harapan dan cita-cita perubahan. Perbedaan bukan dijadikan kekuatan untuk
saling melawan, melainkan cahaya yang akan menerangi untuk bangkit melawan
hegemoni prilaku yang buruk.
Anekdot adalah cerita yang meninabobokan. Ia bisa
diartikan dengan cerita lucu, dongeng, perumpamaan atau cerita hayalan.
Biasanya, kita fungsikan untuk menghantar tidur putra-putri kita agar lekas
pulas. Dan rupanya yang membutuhkan tidur pulas bukan saja putra-putri kita
melainkan kita semua pun butuh. Hanya saja tinggal memilih, tergantung
kesenangan masing-masing. Teruskan atau bangkit menuju perubahan?!
Dylla lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastera Indonesia
Suara Mandiri, Rabu 18 November 2009
Posting Komentar