Seduh Kopi : Antara Tradisi dan Revolusi Industri

Oleh: Asikin Ra Sila


Pernahkah kita berfikir berada pada suatu tempat yang jauh, tanpa meneguk secangkir kopi? Aroma secangkir kopi, mampu menggugah selera, menghidupkan suasana, memberikan keceriaan dan lebih dari itu mampu menghadirkan “relaksasi”. 

Bagi laki-laki pekerja keras, kopi tak ubahnya sebuah “magnet” yang menstimulasi gerak dan langkah dalam memacu aktifitas yang menguras tenaga. Mungkin hanya satu dalam seribu yang tidak suka menikmati kopi. 

Tak lengkap rasanya, ketika saat bekerja tanpa mereguk kopi.  Realita ini, tercermin dari sebuah budaya masyarakat kita, ketika meraka akan memulai aktifitas setiap hari. Dan ini terus berlangsung dari waktu ke waktu, hingga tanpa disadari bahwa kopi bukanlah suguhan biasa yang hanya  memiliki nilai filosofi. Namun lebih dari itu, kopi, telah mencakar nilai budaya sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak informasi yang kita tahu dari “referensi” bahwa kehadiran kopi memiliki asbabun yang panjang. Hingga metamorfosa kopi dalam penyajiannya telah merambah dari kota hingga ke pelosok.
Aroma kopi untuk segala musim


Bagaimana tradisi  masyarakat kita menghasilkan bubuk kopi?  ini mengingatkan saya pada kehidupan keluarga, di era modern belum ada. Saya yakin bukan hanya pada keluarga saya saja yang mengalaminya, juga merata pada masyarakat bima. Terlintas dalam ingatan, bagaimana orang tua kita (baca:ibu), ketika ingin meracik kopi “tubruk”,  dengan telaten, menyiapkan bahan-bahannya seperti;  biji kopi, kelapa tua yang dipotong sebesar ibu jari, beras yang sudah direndam, bahkan ada yang menambah rempah seperti jahe untuk menambah aroma rasa hangat.

Kemudian dengan menggunakan tungku yang terbaut dari tanah, bahkan sebagai tempat untuk mengsangrainya pun terbuat dari tanah. Setelah aroma kopinya benar-benar matang, barulah didinginkan, untuk di tumbuk dan siap untuk dihidangkan. Dan kita yakin sampai sekarang proses secara alami itu masih dijalani. Hanya saja, mungkin tidak lagi menumbuknya dengan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari kayu seperti dalam istilah mbojo aru” dan “nocu” tapi alat ini, mungkin sudah jarang kita temukan, karena sudah mengalami transisi menggunakan jasa mesin giling kopi.

Seiring dengan transformasi budaya dalam menikmati suguhan secangkir kopi, ditengah menjamurnya kedai-kedai kopi yang menawarkan aroma kopi dari berbagai daerah yang ada di indonesia, bahkan aroma kopi dari belahan duniapun turut hadir ditengah-tengah kita, untuk menawarkan aroma kopi yang berbeda rasa. Sebagai satu kenyataan bahwa kehadiran kedai kopi yang bernuansa ala modern dengan penataan artistik yang memiliki nilai estetika, menjadikan kedai kopi tersebut adalah  varian pilihan bagi penikmat kopi. Tanpa disadaripun dengan varian pilihan yang berbeda mengklaster segmen penikmat kopi.

Pertanyaannya adalah apakah kopi hanya sekedar meminum kopi atau merupakan sebuah budaya itu sendiri?  Seorang “Seno Gumira Ajidarma” menyebutkan bahwa yang namanya kebudayaan itu bukan hanya “pameran lukisan”, tapi ngopi pun juga merupakan sebuah kebudayaan. Karena di dalamnya bukan hanya soal selera tapi juga soal pilihan dan citra diri. Kopi bukanlah sekedar kopi. Kopi bukan hanya caffeine, kopi telah menjadi makna.

Memaknai sebuah kopi membawa sebuah arti yang kompleks sehingga tidak jarang nilai kopi, sangat kental dengan sebuah instrumen yang melekatkan rasa sosial yang kuat, menguraikan simpul, mendekatkan yang jauh, mendinginkan ketegangan, dan meretas kebekuan. Transformasi nilai dari pemaknaan kopi telah membawa segmen yang lain sebagai ejawantah dari entitas kopi.

    Tidak heran dikalangan aktifis, pegiat seni, mahasiswa, maupun pelajar bahkan politisipun tak ketinggalan, memasuki ruang yang dianggap sebagai “branding” kedai kopi, menikmati dan mencicipi berbagai aroma kopi yang ditawarkan para “barista”, sebagai cira rasa dari makna dan arti secangkir kopi.            

Tak pelak, kehadiran kedai-kedai kopi mampu menawarkan warna pilihan, aura yang berbeda, sebagai ruang yang “flamboyan” akibat komunikasi yang buntu. Kita lihat saja, bagaimana hiruk – pikuk media sosial saat ini, yang kerap kita ikuti, adanya kelompok –kelompok, individu-individu yang saling mengkalim kebenaran, saling menghujat, saling menyindir, bahkan saling  mengancam. Sehingga tanpa disadari, akan bermuara pada antipati. Nah, sebuah narasi yang sering dibaca adalah “ayo ngopi, melambangkan isyarat bahwa ajakan ini mampu mereduksi bola liar dari berbagai opini dan pendapat.

Kehadiran aroma dalam secangkir kopi  menjadi katalisator medium yang sangat efektif merekatkan jiwa-jiwa yang kontra. Kendatipun masing-masing perbedaan itu adalah sebuah “idealisme pemikiran” namun tetap saling menghargai sebagai bentuk menjaga rasa persaudaraan. Terkadang diruang kedai kopi inipun mampu menyamakan ide dari sebuah perbedaaan dengan pertimbangan untuk kemasalahatan bersama.       

Secangkir kopi, bukanlah sekedar suguhan tanpa makna, pada secangkir kopi itu, terkristalisasi berbagai sudut rasa, bukankah pada setiap tetes kopi menawarkan manis dan pahit? Kitalah yang menakar dan meraciknya dalam satu narasi “perbedaan rasa yang membawa kenikmatan”.


Wallahu’alam Bissawab

*)Penulis adalah Pengurus Dewan Kesenian Kota Bima dan Menulis Buku Antologi Cerpen “SAIS”, Buku Antologi Puisi Bersama “Kabar dari Teluk” dan Sekarang lagi menyelesaikan buku antologi Puisi dan Cerpen yang lain.



Tags

Posting Komentar

[disqus][facebook][blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.